Page Nav

HIDE

Gradient Skin

Gradient_Skin

Pages

Responsive Ad

Seputar Polemik Tentang Kafir "Bagian kedua"

M. Din Syamsuddin Ketua Dewan Pertimbangan MUI Tulisan ini merupakan sambungan dari  Seputar Polemik Tentang Kafir " Bagian Pertam...

M. Din Syamsuddin Ketua Dewan Pertimbangan MUI

Tulisan ini merupakan sambungan dari Seputar Polemik Tentang Kafir " Bagian Pertama "
Munculnya Polemik  Tentang Kafir  membuat  Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia   Muhammad  Din Syamsuddin menyampaikan pandangannya yang di kirim melalui media Sosial, redaksi suara.id mencoba mebagi tulisan menjadi tiga bagian  berikut ini adalah bagian kedua

 Dalam Sejarah Islam, khususnya pada masa Nabi Muhammad SAW, istilah kafir yang dinyatakan Allah dalam Al-Qur'an tidak pernah secara lugas dan vulgar dikaitkan dgn pemeluk agama-agama lain yang ada waktu itu seperti Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Mereka disebut dengan nama komunitas keagamaannya masing-masing, atau terhadap Yahudi dan Nasrani sering juga dipanggil sebagai "Penerima Kitab" (Ahlul Kitab). Artinya, istilah kafir dalam arti berada di luar akidah Islam tidakmenjadi kata panggilan (label), tapi hanya pemahaman terhadap orang luar Islam (konsep).

Dalam pergaulan antar umat beragama, termasuk di Indonesia,  pemakaian istilah khas masing-masing agama tersebut terhadap "pihak lain atau pihak luar", seperti pemanggilan dengan kata kafir dan sejenisnya, tidak populer di ruang publik. Bahkan sekarang, pada era dialog dan kerja sama antar agama, baik pada skala global maupun nasional, sering dipakai istilah "pemeluk agama lain" seperti non-Muslim (ghairul Muslimin), non-Kristiani, dan seterusnya, bahkan istilah Bahasa Inggris yang sering dipakai sekarang adalah the other faiths (pemeluk agama-agam lain). Jelasnya, istilah/konsep kafir yang tidak mungkin dinafikan atau ditiadakan, mengalami transformasi pemakaian dalam konteks kehidupan masyarakat multi-kultural dan multi-keyakinan.

Istilah atau konsep muwathin (citizenship atau warga negara) adalah lain. Konsep ini sudah lama ada sejalan dgn pembentukan Negara-Bangsa (Nation State), bahkan sudah ada sejak pembahasan ttg konsep negara atau masyarakat kewargaan pada Zaman Yunani Kuno (di kalangan filosuf seperti Socrates, Plato, atau Aristoteles). Konsep itu (belum dgn istilah muwathin dan muwathanah) sudah juga menjadi pembahasan pemikir Muslim seperti Ibnul Muqaffa', Al-Mawardi, Ibn Abi Rabi', Ibnu Rusyd, atau Ibnu Khaldun.

Wawasan pemikiran politik Yunani dan Islam ini ikut mempengaruhi konseptualisasi pemikir politik Barat seperti Montesqiu, John Lock, atau Hegel. Pemikiran politik ttg negara dan warga negara ini berkembang hingga masa modern pada pemikiran Muhammad Abduh, Ali Abd al-Raziq, hingga Malik bin Nabi. Di kalangan Muslim konsep ini berkembang sejalan dengan perkembangan negara-bangsa (Nation State atau al-Wathan). Pemikir politik Muslim kontemporer, seperti Bassam Tibi dan Fahmi Huwaidy sdh mulai mengemukan istilah Arab/Islam ak-muwathanah sbg padanan citizenship. Terakhir ini konsep al-muwathanah (citizenship atau kewarganegaraan) menjadi pilihan dunia terutama dalam bentuk al-muwathanah al-musytarakah atau common citizenship (kewarganegaraan bersama).( Bersambung )


 Yangon, 5 Maret 2019.


Penulis: M. Din Syamsuddin Ketua Dewan Pertimbangan MUI

Reponsive Ads